lezat, kuahnya enak, nasinya juga harum. Itulah cita-rasa sate Madura
bagiku dan Eva. Kami sudah rutin, layaknya upacara sakral, untuk selalu
makan sate Madura setiap malam minggu. Seperti malam ini, aku dan Eva
sedang menikmati alunan kelezatan sate Madura yang enak di mulut,
mengenyangkan di perut, bersahabat pula dengan dompet. Dan di warung
sate Madura inilah tempat pertama kali kami bersua dan jatuh cinta pada
pandangan kelima. Betulkah? Betul, betul, betul!!!
“Re, tadi Neza sms, temen aku yang yang tomboy tu, tau ‘kan? Nah, dia
mau minta tolong translate-kan tugas Bahasa Jepangnya ke Bahasa Inggris.
Bisa, Ta?” Eva membuyarkan bentangan lamunanku, dia melahap satu tusuk
sate sekaligus ke dalam mulut mungilnya.
“Oh…ya my sweatheart, bisa, bilang ja ma Neza, antar tugasnya tu besok
ke kos dirimu ya,” tukasku sambil melalhap habis satu tangkai daging
sate juga. Begitulah, terkadang dia memanggil namaku, terkadang pula dia
memanggilku “Ta”, ujung dari kata “Cinta”.
* * *
“Ev, mana Neza-nya?” aku sudah tidak nyaman duduk di depan kos Eva,
sudah 4 jam kami menunggu.
“Bentar lagi Ta, sabar ya, Cinta.” Bujuknya sambil membelai kepalaku
lembut. “Nah, itu Nezanya datang,” katanya lagi. “Kok lama kali sich, Nez?”
“Aduwh Ev, tadi ada urusan, makanya telat. Maaf ya!” Neza memelas.
Eva sering cerita tentang Neza, tapi aku belum pernah ketemu dengannya.
Inilah kali pertama aku bertemu Neza. Dalam dongkol, kulirikkan mataku
ke arah Neza. Dia memiliki rambut lurus sebahu, diikat seperti ekor
kuda, mengenakan baju kaos kuning lengan pendek dan celana jeans biru
selutut. Aku tidak percaya kalau ternyata ada gadis di bumi ini yang
lebih ayu dari pacarku, tapi walaupun mataku terpana, hatiku sama sekali
tidak terpesona, cintaku tetaplah untuk kekasihku, Eva.
“Ini cowok Eva ya?” tanyanya sambil mengulum senyum. Aku hanya
mengangguk dan membalas senyumnya. “Neza”, ujarnya sambil mengulurkan
tangan.
Aku jabat tangannya, “Rehan.” Jawabku singkat. “Oh…ya, langsung aja,
yang mana tugasnya?” tanyaku to the point.
“Ini,” Neza mengulurkan tiga lembar teks berbahasa Jepang. Aku segera
menggarapnya, men-translate-kannya ke Bahasa Inggris.
Tidak lama kemudian aku menyelesaikan terjemahan itu. Aku menyodorkan 2
helai kertas yang dibelai udara seperti rambut Neza yang terurai
dihembus angin sepoi-sepoi.
“Makasih ya.” Tutur Neza lembut, lalu Eva mengantarnya ke gerbang kos di
bawah sore yang hampir senja. Setelah itu, langit berwarna jingga
mengatup kisah pada hari itu.
* * *
“Kurang ajar!!!”
Buak!!! Tanganku berdarah meninju dinding, amarahku terbakar. Kekasihku
yang selama ini kuanggap setia, ternyata bersikap seperti itu di
belakangku. Selama ini aku percaya saja sama dia, tapi ternyata ini
balasan atas kepercayaan yang telah kuberikan padanya. Dia telah
menghujamkan belati ke jantungku. Dia telah menikamku dengan sadis dari
belakang. Pengkhianatannya mengubur cintaku padanya dan membangkitkan
kebencian yang tak terkira. Pantas saja kadang aku merasa aneh, kenapa
ada nomor hp seorang cowok yang sampai dua tiga buah di hp
Eva. Satu nama tiga nomor dengan kartu yang berbeda, pantaslah Eva
memiliki banyak kartu.
Nama cowok itu Bang Andi. Ketika aku tanya siapa Bang Andi, Eva bilang
kalau orang itu adalah abang angkatnya. Aku percaya saja padanya, tapi
belakangan ini aku curiga. Setiap kali aku menelponnya, selalu tertulis
‘menunggu’ di hp-ku, bahkan saat kami makan sate, si Bang Andi juga
kerap kali menghubungi Eva. Dan ternyata, si Bang Andi itu tidak lain
tidak bukan adalah si Dika alias Andika Pratama, mantannya. Dia telah
membohongiku. Dia masih berhubungan dengan mantannya di belakangku. Dia
pernah berjanji padaku bahwa dia tidak akan pernah menjalin hubungan
apa-apa lagi dengan mantannya, tapi sekarang… Dia mengingkari janjinya!!!
Kenapa dia tega melakukan semua ini padaku, padahal aku tidak pernah
menyakitinya, aku selalu menyayanginya sepenuh hati. Pengkhianatannya
bagaikan petir yang menghancurleburkan jasadku. Aku baru tahu semua itu
hari ini, saat aku membuka facebook Eva. Di sana, aku menemukan pesan
yang isinya mereka berdua janjian ketemuan nanti malam di kos Eva, di
bawah pohon cherry di depan kos.
Begitu Eva pulang kuliah, aku menemuinya seperti biasa. Aku bersikap
seolah tidak tahu apa-apa. Eva bilang malam ini dia akan mengerjakan
tugas kuliah, jadi tidak bisa ketemuan. Aku iyakan saja, lalu malam
harinya, aku datang setengah jam lebih cepat dari waktu ketemuan yang
telah mereka rencanakan. Pengintaianku tak ubahnya seperti pengintaian
singa yang akan menerkam mangsa. Aku bersembunyi di balik pagar yang
ditumbuhi bunga akasia yang cukup rimbun. Bulan enggan keluar dari
selimut awan hitam, seakan takut melihat ledakan amarahku dan remuk
redam hatiku.
Setengah jam berlalu, aku melihat Dika datang. Mereka duduk berdua,
dekat, dekat sekali. Bara api amarah sontak menjalari urat-urat di
sekujur tubuhku. Aku segera keluar dari persembunyian, Eva terkejut
melihat kedatanganku. Tanpa banyak basa basi, aku mencengkram kerah baju
Dika dan meninju wajahnya, perutnya dan menendang dadanya. Tak ayal, dia
terjengkang. Eva berteriak histeris melihat kejadian itu. Belum puas
dengan semua itu, aku mendaratkan bogem mentah ke mulut Dika sekuat
tenaga sampai semua gigi serinya patah. Setelah itu, kupalingkan wajahku
ke Eva.
“Mulai hari ini, kita PUTUS!!!” Bentakku dan berlalu meninggalkannya
yang terisak-isak menangis. Aku tenggelam dalam gulita. Hatiku remuk tak
bersisa. Air mataku menetes, menelusuri pipiku dan jatuh ke bumi setelah
singgah ke dagu. Air mata itu adalah derai air mata terakhir untuk
cinta. Persetan dengan cinta. Ternyata wanita itu pendusta. Semua wanita
itu pembohong, pengkhianat!!! Aku menggerutu, mengutuk sepanjang malam.
* * *
Bulan demi bulan pun datang silih berganti. Bahkan tanpa terasa, sudah
dua tahun sejak peristiwa agresi pengkhianatan cinta itu menimpaku, aku
masih belum juga memiliki pacar baru. Aku hanya berjalan ditemani waktu
menelusuri jalan setapak di taman belakang kampusku. Di tanganku
bergelayut tas kotak dengan isi penuh buku.
Bruk!!!
Aku ditubruk dari belakang. Semua bukuku berserakan ke taman, sebagian
malah nyungsep ke becekan yang digenangi air keruh.
“Kurang ajar!!!” hardikku seraya mengepal tinju. Aku akan segera
mendaratkannya di wajah orang yang mengakibatkan semua ini. Tapi,
berselang satu detik kemudian, jantungku berhenti berdetak, darahku
membeku. Gadis itu tersenyum padaku dan meminta maaf, hatiku luluh, aku
balas senyumnya dan menatap matanya. Kali ini, mataku terpana dan hatiku
terpesona.
“Neza…” sapaku.
“Rehan…” balasnya sambil menatapku dengan senyum menggoda, betapa
0 comments:
Posting Komentar